TRADISI KRITIK DALAM ISLAM SEBAGAI UPAYA
SOSIALISASI DAN INTERNALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN
Oleh :
Aufa Arham Khaeruddin
Dalam perjalanan akademik yang saya lewati, saya menemukan fenomena unik dengan fakta yang sangat jelas. Saya yang mengenyam pendidikan di SMP yang kering sekali akan nilai-nilai keislaman. Dan akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya ke salah satu pesantren di Kota Garut. Dari pesantren sayapun melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliah di Kota Bandung. Dan akhirnya saya sekarang kuliah di UIN SGD Bandung.
Selintas tidak ada yang aneh dan tidak ada istimewanya perjalanan pendidikan saya itu. Namun yang ingin saya ungkapkan ialah fenomena keislaman yang berkembang di setiap fase pendidikan tersebut. Umumnya saya melihat saat ini lulusan pesantren cenderung unggul dibidang tradisi Islam klasik, tapi cenderung lemah di bidang penguasaan tradisi Islam kontemporer. Sebaliknya, intelektual kampus cenderung unggul di bidang tradisi Islam kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisiIslam klasik.
Kedua hal tadi diatas, sangat berpengaruh terhadap penerapan nilai-nilai dan hukum-hukum islam di dalam masyarakat. Dan sekarang ini sangat kentara sekali pertentangan antara kedua tradisi itu. Tradisi islam klasik yang dibawa oleh lulusan pesantren dan tradisi islam kontemporer yang dibawa oleh intelrktual kampus.
Lebih-lebih, belakangan ini sering muncul kritik bahwa kajian hukum Islam di Indonesia tidak mempuyai proyek yang jelas, sehingga arah dari pemikiran yang berkembang juga menjadi tidak jelas. Bahkan secara sinis intelektual Indonesia ada yang menyebut “intelektual musiman” atau (maaf) “hangat-hangat tahi ayam”. Ketika sedang musim post modernisme atau post tradisionalisme semua orang bicara tentang tema tersebut, di sana-sini digelar berbagai diskusi tentang itu. Ketika tiba-tiba muncul isu Islam liberal, civil socity, gender dan sebagainya, hampir semua orang hangat membicarakannya. Singkatnya, tidak ada sesuatu yang menjadi “proyek pemikiran bersama”, karenanya pemikiran Islam di Indonesia belum mampu memberi kontribusi signifikan bagi kepentingan dunia Islam secara keseluruhan.
Sebenarnya pada akhir 80-an dan awal 90-an sudah mulai muncul arah yang baik seperti tema tentang “pribumisasi hukum Islam” dan “hukum Islam transformatif”, namun sayangnya tema ini surut tanpa sebab yang jelas. Bahkan pada akhir 90-an dan sampai saat ini, energi kebangsaan kita seluruhnya banyak tersedot untuk urusan politik, sehingga hampir-hampir tidak ada perkembangan pemikiran yang berarti.
Kritik semacam ini bisa dipahami dan dilihat sebagai kegelisahan untuk mewujudkan hukum Islam yang mempuyai kepedulian terhadap proyek-proyek kemanusiaan. Untuk menuju kearah tersebut, satu hal yang tak dapat dihindari adalah meninjau ulang metode kajian hukum Islam yang lebih mamayungi paham ortodoksi dan memusuhi paham “islam madzhab kritis”. Dalam konteks ini, metodologi kajian yang mengedepankan kritik nalar (naqd al-aql) merupakan salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan, meskipun harus diakui, ini merupakan “proyek antara” dan tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang berkaitan dengan metodologi studi hukum Islam. Meskipun demikian, hal ini paling tidak bisa mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tulisan ini juga tidak bermaksud membangun sebuah metodologi baru, tetapi sekadar pemaparan umum menuju kritik nalar dengan cara memberi bingkai atas kajian keislaman yang sudah dilakukan oleh tokoh-tokoh yang concern dengan kritik nalar.
Tradisi kritik dalam Islam sebenaranya bukanlah hal yang baru, karena kelahiran Islam di dalamnya mengandung unsur kritik, yaitu kritik terhadap kondisi masyarakat arab jahiliyah yang sangat membelenggu, baik belenggu keyakinan, keyakinan atau budaya (Asghar, 1999). Tardisi keilmuan Islam sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik, yaitu sejak abad ke 3 H. hal itu secara samar-samar dapat dilihat dengan munculnya ilmu mustalah hadis yang didalamnya dikaji ilmu jarh wa ta’dil, ilm rijal al-hadits, kritik sanad, kritik matan dan sebagainya (M. Khudlori, 1981). Dari sini bisa dipahami bahwa ada potensi kritisisme dalam tradisi keilmuan Islam. Namun sayangnya, pada perkembangan selanjutnya tradisi kritik tersebut tidak berkembang, bahkan ia tidak lagi sebagai instrumen kritik tapi telah ditempatkan sebagai penjaga ortodoksi hadis.
Dalam ilmu al-Quran juga dikenal asbab al-nuzul yang membicarakan sebab-sebab turunnya ayat al-Quran. Namun sayangnya ilmu tersebut seolah telah “mati”, tidak berkembang karena dianggap tidak terkait dengan histiorigrafi, hermeneutika, kritik sejarah dan sebagainya. Asbab al-nuzul dipertimbangkan hanya sejauh dan dalam pengertian bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Sebab peristiwa-peristiwa itu baukanlah tujuan atau syarat mutlak mengapa turun wahyu. Dari sini kemudian memunculkan pemahaman bahwa pentingnya wahyu terletak pada generalisasi kata-kata yang digunakan, bukan pada peristiwa pewahyuan, sehingga muncul kaidah al-ibrah bi umum al-lafadz la bi khusus alsabab. Hal yang sama terjadi pada fiqih, ilmu teologi dan tasawuf. (Nasr Hamid Abu Zaid, 1993; Rumadi, 2001).
Singkatnya, embrio ilmu kritis yang ada dalam Islam tidak berkembang, tapi justru menjadi bagian dari proses ortodoksi ilmu keagamaan. Dalam bukubuku sejarah hukum Islam (tarikh tasyri) menunjukkan bahwa proses ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang yang pada akhirnya berujung pada corak nalar Islam menjadi baku dan beku. Teks-teks Islam yang semula hidup, dinamis dan terbuka terhadap semua penafsiran berubah menjadi tertutup. Masalah-masalah keagamaan yang semula –meminjam istilah Muhammad Arkoun—berada dalam wilayah yang terpikirkan (thinkable) berubah menjadi wilayah tak terpikirkan (unthinkable), sehingga terjadi pensakralan terhadap pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-dini) (M. Arkoun,1990; Rumadi, 2001).
Kenyataan demikian harus segera diubah, jika kita ingin mengangkat agama dari ”kubangan” sejarah. Tentunya, yang perlu dilakukan adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya kritisisme dalam masyarakat islam, kemudian segera diikuti dengan pembongkaran terhadap merelativisasi pemikiran masa lampau dengan melakukan kritik nalar. Upaya demikian pada tingkat tertentu sudah dimulai oleh pemikir-pemikir kritis seperti Muhammad Arkoun, Muhammad Abid Aljabiri, Nasr Hamid abu Zayd, Hasan Hanafi adan sebagainya. Masalah selanjutnya adalah bagaimana merawat tardisi kritik nalar tersebut dan menjadikannya sebagai mainstream kajian Islam.

0 comments:

Categories

Google Translate
Arabic Korean Japanese
Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German
Spain Italian Dutch
Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger Tricks

Blogger Themes

Aufa Fotho's Slideshow: Aufa’s trip from Bandung, Java, Indonesia to 5 cities Kabupaten Kuningan (near Cirebon), Puncak, Garut, Earth (near Koumariá, Macedonia Region, Greece) and Mt. Tangkuban Perahu (near Tasikmalaya) was created by TripAdvisor. See another Greece slideshow. Create your own stunning free slideshow from your travel photos.

Lencana Facebook