Mesjid Menjadi Tolak Ukur Peradaban Islam
Oleh : AUFA ARHAM KHAERUDDIN
Mesjid yang dibangun pada masa Rasulullah bukan hanya tempat ibadah shalat umat islam, melainkan fungsi dan perananya lebih dari itu. Seperti Masjid Kuba, dalam perjalanan hijrah beliau dari Makkah ke Madinah. Dan juga masjid yang belaiu dirikan di Kota Madinah. Masjid merupakan tempat yang sangat sentral bagi umat islam. Karena pada saat itu berawal dari masjid-lah peradaban maju umat Islam. Semua kegemilangan umat islam tidak terlapas dari peran masjid yang menjadi tempat sentralnya.
Secara garis besar banyak fungsi masjid selain hanya untuk beribadah shalat, dan ibadah ritual lainya. Mesjid memiliki banyak fungsi dan peran dalam mewujudkan peradaban islam diantaranya, fungsi dan peran sosial kemasyarakatan, fungsi dan peran politik, fungsi dan peran pendidikan, fungsi dan peran ekonomi, bahkan menjadi fungsi pengembangan seni dan budaya. Dan masih banyak fungsi dan peran yang lain yang dapat kita optimalkan dari mesjid ini. Sehingga mesjid menjadi awal dari peradaban. Sebagaimana peran dan fungsi masjid pada zaman rasulullah.
Seolah kehilangan peran dan fungsinya, zaman sekarang mesjid menjadi tempat yang mungkin dikunjungi oleh umat islam hanya sekali dalam seminggu. Yaitu ketika shalat jum’at. Selebihnya masjid seolah menjadi museum keagamaan. Dan bisa jadi umat islam yang rajin datang ke masjid dianggap sebagai muslim yang kolot, alias ketinggalan zaman. Atau bahkan mereka menganggap masjid menjadi sumber penghambat kenajuan. Dimana kebanyakan orang telah memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup di Bulan. Sungguh ungkapan ungkapan seperti itulah yang menjadi penyebab masjid tidak lagi menjadi tempat yang sentral bagi umat islam zaman sekarang.
Dengan melihat fakta dilapangan dan dengan tanpa menghakimi secara sepihak. Maka banyak factor kenapa masjid tidak lagi menjadi sentral peradaban. Pertama, buruknya sistem manejemen Mesjid. Kedua, terpisahnya masjid dengan  pusat pemerintahan. Ketiga, kurang mampunya mengoptimalkan media teknologi dalam sarana dakwah masjid. Keempat, tidak bisa meningkatkan sosial ekonomi para jam’ahnya. Kelima, pendidikan berbasis mesjid yang dipandang sebelah mata.
Pertama, buruknya manajemen pengelolaan masjid. DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid) sebagai actor yang berperan penting dalam setiap aktivitas yang ada masjid, belum mampu membaca gejala jama’ah yang memakmurkan masjid-nya. Sehingga jama’ah belum bisa merasakan bahwa mereka merupakan bagian dari masjid tersebut. Karena yang mereka lakukan hanya sebatas shalat di masjid tersebut. Tidak adanya rasa memiliki dari para jama’ah terhadap masjid tersebut merupakan indikator bahwa masjid tidak lagi menjadi media perekat ukhuwah islamiah bagi para jama’ahnya.
Kedua, terpisahnya masjid dari sentral aktifitas pemerintahan. Hal ini banyak terjadi di setiap level pemerintahhan. Baik dari tingkat RT sampai RI 1. Walaupun sebagian letak mesid berada di dekat gedunng pemerintahan, dalam faktanya sedikitk sekali para aparetur pemerintahan yang melaksanakan shalat di masjid tersebut. Apakah memang kantor mereka lebih nyaman dan bersih dari masjid tersebut.!!! Atau jangan-janagn mereka sudah pensiun dari melaksanakan shalat.!!! Hanya Allah dan mereka yang tahu.
Ketiga, media teknologi yang sangat berkembang pesat sekarang ini, belum mampu dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian besar pengelola masjid. Salah satu contohnya media internet yang sekarang ini menjadi pembawa arus besar rekayasa social masyarakat. Bahkan penggulingan rezim Hosni Mubarrak di Mesir-pun berawal dari media internet ini.
Keempat, masjid seyogianya dapat menjadi solusi bagi peningkatan social perekonomian bagi para jama’ahnya. Saya kira kemiskinan di Indonesia mampu diatasi dengan manjadikan masjid sebagai basis pertumbuhan social ekonomi rakyat. Sebagaimana pada zaman Rasulullah, Mesjid berada di pusat sentrl perekonomian rakyat. Jika di kalkulasikan saja masjid dalam satu kampong ada 2-3 masjid. Kemudian masjid tersebut memberdayakan masyarakat yang ada di lingkungan mesjidnya. Maka bisa kita perdiksi pertumbuhan social ekonomi di Indonesia akan tumbuh pesat.
Kelima, pendidikan yang berbasiskan mesjid sudah tereduksi peran dan fungsinya, yang hanya cukup dijadikan sebagai tempat pendidikan keagamaan saja. Seolah buta akan sejarah kejayaan islam, bahwa masjid menjadi basis utama kemajuan keilmuan dalam islam. Sehingga umat Islam memagang peradaban dunia pada saat itu. Namun sekarang pendidikan berbasis masjid ini menjadi hilang. Sehingga jangan disalahkan ketika para pemimpin negeri ini yang sangat pintar namun sangat hobi Korupsi, dan sulit sekali kesejahteraan itu di tegakkan.


TRADISI KRITIK DALAM ISLAM SEBAGAI UPAYA
SOSIALISASI DAN INTERNALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN
Oleh :
Aufa Arham Khaeruddin
Dalam perjalanan akademik yang saya lewati, saya menemukan fenomena unik dengan fakta yang sangat jelas. Saya yang mengenyam pendidikan di SMP yang kering sekali akan nilai-nilai keislaman. Dan akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya ke salah satu pesantren di Kota Garut. Dari pesantren sayapun melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliah di Kota Bandung. Dan akhirnya saya sekarang kuliah di UIN SGD Bandung.
Selintas tidak ada yang aneh dan tidak ada istimewanya perjalanan pendidikan saya itu. Namun yang ingin saya ungkapkan ialah fenomena keislaman yang berkembang di setiap fase pendidikan tersebut. Umumnya saya melihat saat ini lulusan pesantren cenderung unggul dibidang tradisi Islam klasik, tapi cenderung lemah di bidang penguasaan tradisi Islam kontemporer. Sebaliknya, intelektual kampus cenderung unggul di bidang tradisi Islam kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisiIslam klasik.
Kedua hal tadi diatas, sangat berpengaruh terhadap penerapan nilai-nilai dan hukum-hukum islam di dalam masyarakat. Dan sekarang ini sangat kentara sekali pertentangan antara kedua tradisi itu. Tradisi islam klasik yang dibawa oleh lulusan pesantren dan tradisi islam kontemporer yang dibawa oleh intelrktual kampus.
Lebih-lebih, belakangan ini sering muncul kritik bahwa kajian hukum Islam di Indonesia tidak mempuyai proyek yang jelas, sehingga arah dari pemikiran yang berkembang juga menjadi tidak jelas. Bahkan secara sinis intelektual Indonesia ada yang menyebut “intelektual musiman” atau (maaf) “hangat-hangat tahi ayam”. Ketika sedang musim post modernisme atau post tradisionalisme semua orang bicara tentang tema tersebut, di sana-sini digelar berbagai diskusi tentang itu. Ketika tiba-tiba muncul isu Islam liberal, civil socity, gender dan sebagainya, hampir semua orang hangat membicarakannya. Singkatnya, tidak ada sesuatu yang menjadi “proyek pemikiran bersama”, karenanya pemikiran Islam di Indonesia belum mampu memberi kontribusi signifikan bagi kepentingan dunia Islam secara keseluruhan.
Sebenarnya pada akhir 80-an dan awal 90-an sudah mulai muncul arah yang baik seperti tema tentang “pribumisasi hukum Islam” dan “hukum Islam transformatif”, namun sayangnya tema ini surut tanpa sebab yang jelas. Bahkan pada akhir 90-an dan sampai saat ini, energi kebangsaan kita seluruhnya banyak tersedot untuk urusan politik, sehingga hampir-hampir tidak ada perkembangan pemikiran yang berarti.
Kritik semacam ini bisa dipahami dan dilihat sebagai kegelisahan untuk mewujudkan hukum Islam yang mempuyai kepedulian terhadap proyek-proyek kemanusiaan. Untuk menuju kearah tersebut, satu hal yang tak dapat dihindari adalah meninjau ulang metode kajian hukum Islam yang lebih mamayungi paham ortodoksi dan memusuhi paham “islam madzhab kritis”. Dalam konteks ini, metodologi kajian yang mengedepankan kritik nalar (naqd al-aql) merupakan salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan, meskipun harus diakui, ini merupakan “proyek antara” dan tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang berkaitan dengan metodologi studi hukum Islam. Meskipun demikian, hal ini paling tidak bisa mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tulisan ini juga tidak bermaksud membangun sebuah metodologi baru, tetapi sekadar pemaparan umum menuju kritik nalar dengan cara memberi bingkai atas kajian keislaman yang sudah dilakukan oleh tokoh-tokoh yang concern dengan kritik nalar.
Tradisi kritik dalam Islam sebenaranya bukanlah hal yang baru, karena kelahiran Islam di dalamnya mengandung unsur kritik, yaitu kritik terhadap kondisi masyarakat arab jahiliyah yang sangat membelenggu, baik belenggu keyakinan, keyakinan atau budaya (Asghar, 1999). Tardisi keilmuan Islam sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik, yaitu sejak abad ke 3 H. hal itu secara samar-samar dapat dilihat dengan munculnya ilmu mustalah hadis yang didalamnya dikaji ilmu jarh wa ta’dil, ilm rijal al-hadits, kritik sanad, kritik matan dan sebagainya (M. Khudlori, 1981). Dari sini bisa dipahami bahwa ada potensi kritisisme dalam tradisi keilmuan Islam. Namun sayangnya, pada perkembangan selanjutnya tradisi kritik tersebut tidak berkembang, bahkan ia tidak lagi sebagai instrumen kritik tapi telah ditempatkan sebagai penjaga ortodoksi hadis.
Dalam ilmu al-Quran juga dikenal asbab al-nuzul yang membicarakan sebab-sebab turunnya ayat al-Quran. Namun sayangnya ilmu tersebut seolah telah “mati”, tidak berkembang karena dianggap tidak terkait dengan histiorigrafi, hermeneutika, kritik sejarah dan sebagainya. Asbab al-nuzul dipertimbangkan hanya sejauh dan dalam pengertian bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Sebab peristiwa-peristiwa itu baukanlah tujuan atau syarat mutlak mengapa turun wahyu. Dari sini kemudian memunculkan pemahaman bahwa pentingnya wahyu terletak pada generalisasi kata-kata yang digunakan, bukan pada peristiwa pewahyuan, sehingga muncul kaidah al-ibrah bi umum al-lafadz la bi khusus alsabab. Hal yang sama terjadi pada fiqih, ilmu teologi dan tasawuf. (Nasr Hamid Abu Zaid, 1993; Rumadi, 2001).
Singkatnya, embrio ilmu kritis yang ada dalam Islam tidak berkembang, tapi justru menjadi bagian dari proses ortodoksi ilmu keagamaan. Dalam bukubuku sejarah hukum Islam (tarikh tasyri) menunjukkan bahwa proses ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang yang pada akhirnya berujung pada corak nalar Islam menjadi baku dan beku. Teks-teks Islam yang semula hidup, dinamis dan terbuka terhadap semua penafsiran berubah menjadi tertutup. Masalah-masalah keagamaan yang semula –meminjam istilah Muhammad Arkoun—berada dalam wilayah yang terpikirkan (thinkable) berubah menjadi wilayah tak terpikirkan (unthinkable), sehingga terjadi pensakralan terhadap pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-dini) (M. Arkoun,1990; Rumadi, 2001).
Kenyataan demikian harus segera diubah, jika kita ingin mengangkat agama dari ”kubangan” sejarah. Tentunya, yang perlu dilakukan adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya kritisisme dalam masyarakat islam, kemudian segera diikuti dengan pembongkaran terhadap merelativisasi pemikiran masa lampau dengan melakukan kritik nalar. Upaya demikian pada tingkat tertentu sudah dimulai oleh pemikir-pemikir kritis seperti Muhammad Arkoun, Muhammad Abid Aljabiri, Nasr Hamid abu Zayd, Hasan Hanafi adan sebagainya. Masalah selanjutnya adalah bagaimana merawat tardisi kritik nalar tersebut dan menjadikannya sebagai mainstream kajian Islam.


Aku dan Da’wah Kepenulisan
oleh : AUFA ARHAM
 
Berawal dari pertanyaan, sudah muslimkah diriku?, lalu apa tugasku sebagai seorang muslim?, bagaimanakah kondisi islam sekarang ini? lalu apakah islam membutuhkanku?, apa yang harus ku perbuat untuk islam?, pertanyaan yang akan menghasilkan seribu jawaban. Jawaban apapun yang muncul  samasekali tidak akan membuat perubahan kalaulah jawaban itu hanya sebatas mengisi soal-soal dalam kuis. Yang aku butuhkan sekarang ini ialah gerakan. Ya, gerakanlah yang mampu merubah segalanya. Gunung saja akan habis dengan gerakan tangan manusia yang rakus. Lalu gerakan apa yang mampu membuat islam Berjaya?.
Bukanlah hal yang baik jika hanya di ingat dalam pikiran, semua butuh gerakan. Dimulai dengan bismilah, azam yang terpatri dalam diri berlukiskan niat yang ikhlas, kugrakan seluruh amanah dari Alloh berupa akal yang mampu berfikir, mata yang dapat melihat, telinga yang dapat mendengar, mulut yang mampu berucap, tangan yang dapat bergerak, kaki yang mampu berjalan dan berlari dan semua amanah yang tak mampu ku hitung satu-persatu. Amanah ini merupakan asset yang sangat berharga dalam kehidupanku. Pantaskah setelah sekian banyak nikmat Alloh aku dapatkan lantas aku sia-siakan bahkan pembangkangan yang aku lakukan? Pertanyaan yang tak perlu dijawab dengan ucapan tetapi aplikasi dari nilai-nilai kesyukuran kepada Alloh dalam kehidupaku, jawaban seperti itulah yang lebih pantas untukku.
Kaki tak selamanya mampu berdiri, mulut tak selamanya mampu berucap, lalu apa lagi yang harus aku lakukan untuk mengisi setiap detik waktu yang Alloh anugerahkan kepadaku? Aku yakin tak ada pertnyaan yang tak ada jawabanya. Lalu apa jawaban yang dapat mengisi pertanyaan tersebut! Buku-buku kubaca dengan harapan aku dapat menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Kesabaranku mulai goyah ketika jawaban itu tidak kunjung ku temukan. Mamun seketika aku tersenyum kemudian tertawa, “bodoh sekali aku ini” kalimat itu yang terus menari-nari di fikiranku. Aku sadar bahwa apa yang sedang aku pegang merupakan jawaban yang selama ini aku cari. Tulisanlah yang tak akan berhenti untuk berdiri, tulisan pula yang tidak akan berhenti berucap. Bahkan tulisan ada dimana-mana, dibaca oleh siapa saja kapan saja. Tulisan, ya tulisan, itulah jawaban yang tepat untuk membinasakan pertanyaan tersebut.


MENULIS UNTUK HIDUP
`Tuliskan saja, karena kalau hanya menggong-gong anjing pun bisa!!!’
Oleh    : Aufa Arham Khaeruddin
Bandung (kamar rapih). Rabu (pagi yang segar), 30 (akhir bulan – kantong kering), Maret (bulan UTS), 2011.
Menulis? Kanapa harus menulis? Siapa yang harus menulis? Bagaimana memulai menulis? Apa yang harus ditulis? Bagaimana mencari ide? Apa keuntungan menulis?
Menulis?
Ya,, menulis kegiatan untuk berkarya, berkarya adalah ciri orang hidup, jadi kalau tidak menulis berarti M…….
Kanapa harus menulis?
Kalau bukan kita, Siapa lagi yang akan menuliskan hidupan kita. Janagan titipkan sejarah kita kepada orang lain. Karena, yang menuliskanya penuh kemunafikan.
Siapa yang kenal Rasulullah? Siapa yang kenal imam Syafi’I, Maliki, Tbnu Taimiah, Sukarno,??? Darimana kamu mengenal mereka??? Kalau bukan dari tulisan dan tulisan adalah buah dari menulis
Makanya yang nagku pengikut Rasulullah harus Me……….s
Siapa yang harus menulis?
Yang merasa ingin hidup, maka menulislah… Anda ingin hidup???... maka M……
Bagaimana memulai menulis?
Tiada yang lain, untuk mulai menulis ya menulis
Jangan banyak berfikir, karena orang akan meninggalkanmu. Menulislah maka orang akan mendatangimu dan mencarimu.
Apa yang harus ditulis?
Tulislah semua yang kau anggap penting. Karena itulah yang membedakan orang penting dan orang so-penting.
Tulislah semua ayat-ayat Alloh karena itulah yang membedakan orang beriman dan yang kafir.
Bagaimana mencari ide?
Ide tidak perlu dicari, karena dari awal bumi dicptakan sampai sekarang, bumi tetap bulat artinya, tidak ada ide yang baru, yang ada hanyalah magaimana menuangkan ide tersebut kedalam bentuk tulisan.
Apa keuntungan menulis?
Kalaulah harus ditulis semua keuntungan menulis, Sampai kiamat tidak akan pernah habis.
Intinya kalau menulis diniatkan untuk ibadah. Maka keuntunganya dari dunia sampai akhirat...
Menulis untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Categories

Google Translate
Arabic Korean Japanese
Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German
Spain Italian Dutch
Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger Tricks

Blogger Themes

Aufa Fotho's Slideshow: Aufa’s trip from Bandung, Java, Indonesia to 5 cities Kabupaten Kuningan (near Cirebon), Puncak, Garut, Earth (near Koumariá, Macedonia Region, Greece) and Mt. Tangkuban Perahu (near Tasikmalaya) was created by TripAdvisor. See another Greece slideshow. Create your own stunning free slideshow from your travel photos.

Lencana Facebook